17 Mei 2011
harus diamalkan, sulit mencarinya lebih sulit lagi
mengamalkanya, sebab ilmu yang tidak diamalkan tidak
lah berguna, dan kala waktuya ilmu bisa
menyusahkan”. “Jika ingin memberi ilmu berikanlah dengan ikhlas,karena sejatinya ilmu itu ialah ilmu Kang Piningit/
Ilmu keTuhanan, memberikanmu harga menjadikanmu
berbudi daya, yang menjadi tangan-tangan kuasa
penghancur angkara….” Demikianlah malam ini dengan disaksikan seluruh
Kompasianer, warga Desa Rangkat, dan hadirin yang
sudah gempal di lapangan Desa Rangkat. Aku akan
mempersembahkan lakon wayang kulit klasik “DEWA RUCI” peristiwa spektakuler bertemunya bima dengan Tuhan, diabadikan dalam Serat Dewa Ruci oleh
Yasadipura I, dan di Kompasiana aku abadikan dalam
postingan Balada Wayang Episode 9 : DEWA RUCI.
***
Bumi gonjang-ganjing…. Inilah wayang tulis di Kompasiana kala detik-detik menegangang radiasi di
fukushima.
Oooooo…… Al-ardhi wal gonjang-ganjing fi dunya wal akhirot, langit ON OFF, ON OFF,…. Kol jroning somay kadal kesit mirip nurdin… Oooo hong wilaheng…atos ndasmu gembus tahu…heeee….Ning..ning..ning..nong… nong…nong… Durna did you know this guy? Ya cerita Wayangku kali
ini berawal dari guru yang menurut Bagong majenun ini.
Kala muda ia bernama Bambang Kombayana, Resi yang
selalu dianalogikan sebagai guru yang licik karena ia
mengajar ilmu kepada Yudhistira, Bima, Arjuna dan dua
adik kembarnya Nakula Sadewa untuk membalaskan dendamnya pada Prabu Drupada, Bapaknya Sri Kandi,
Raja Negeri Pancala.
Kenapa harus ada dendam diantara kita, beginilah
ceritanya…. Kala itu kesatria gagah Bambang Kombayana (Durna
Muda), baru turun gunung datang ke Nuswantara dan
ingin menemui teman seperguruanya Prabu Drupada di
negeri pancala.
Sesampainya di pancala, karena merasa sudah terbiasa
nongkrong di kantin sekolah dan sama2 murid Resi Baradwaja, Kombayana tak mengindahan aturan
protokoler Negeri Pancala, langsung Hug n Kiss saja, Raja
Drupada pun membiarkan saja polah Kombayana toh ia
pun merasakan kerinduan yan sama.
Amma ba’du. Faya ayuhannas … Hulubalang Kerajaan yang sudah menampakan wajah tidak bersahabatnya
dengan tingkah laku Kombayana, meminta pemimpin
mereka Patih Gandama untuk memberi pelajaran.
Bumi bengkah… Patih Gandamana tidak mengindahkan perintah Rajanya untuk memberi perlakuan khusus pada
tamu ini, dicengkiwingnya kuduk Kombayana diseret
keluar dari kesatrian…”Hajar….sikaaaaaat…” Aji Pamungkas Blabakpangantolan dan Aji Notonegoro
ehhh…Ajian Bandung Bondowoso yang dimiliki Gandamana membuat wajah kombayana yang tampan
dan gagah ancur…cur…cur…persis seperti Dorna yang sekarang.
Sambil merangkak dan menyeret-nyeret badanya
meninggalkan Pancala Dorna sesumbar “Awas entenana pembalasanku…” kelak akan dihabiskan Pancala sampai ke akar2nya.
Maka saat Resi Bisma mengangkat Resi Durna sebagai
guru dan memberikan wakaf lapangan Sokalima untuk
dijadikan Padepokan untuk mengajari cucu-cucunya
yakni pandawa dan kurawa, disinilah kesempatan Dorna
untuk membalaskan dendamnya dengan orang-orang Pancala.
Itulah akal bulus Dorma…ehh…maaf Dorna… Begitulah belakangan bukan cuma Gareng yang tidak
percaya dengan Dorna masyarakat pun jadi ikut ga
percaya dengan guru majenun itu, sama persis seperti
Rakyat mesir yang sudah tak percaya dengan
kepemimpiman Husni Mubarak dan nekat kudeta, emper
khalayak libya yang sudah ogah banget dengerin Presiden Ghadafi yang punya 20 Bodyguard dan
perawat seksi pendampingnya.
***
Ke-majenunan-nya semakin terlihat dan membuat
punokawan Petruk wa Bagong wa Gareng semakin ga
percaya, manakala menyuruh Bima mencari Kayu Gung Susuheng Angin (Kayu Gung Sarang Angin),Yaelah yang
bener aja Kang…Masa angin punya sarang kaya burung saja? Tanya bagong pada sulung ponokawan Gareng.
Gareng yang sudah di BBM dan dikirimi inbox oleh
cangik dan limbuk ponokawan yang mengabdi ke
Kurawa, bahwa itu Cuma akal-akalan Duryodana untuk
mencelakai Bima agar kekuatan Pandawa pada perang
Barathayuda nanti berkurang karena minus bima, meski sekutu Korawa sudah banyak tapi toh disbanding
dengan satu wrekudara tiga pleton pasukan sekutu tak
ada apa2nya.
Kayu gung susuheng angin. Menurut Dorna adanya di
Gunung Candramuka yang super duper angker ’e, karena menurut isu yang beredar disitu bersemayam
dua saudara kembar Raksasa Rukmaka dan Rukmakala.
Tanpa sepengetahuan Bima Ponokawan mengikutimya
meski hanya sampai dilereng Gunung penuh hantu,
benarlah dua Raksasa tanpa pamit langsung
membombardir Bima dengan serangan ganas. Petruk, Bagong, Gareng ternganga-nganga pas melihat
Ndoro mereka keluar dari hutan dengan selamat dan
cengar-cengir.
“Hwaaaaaaa…..Hemmmmmmm….taaarraaaaaaaaaaa….” Bima kegirangan.
“Hwaaaa…Hmmmm….aku diberi cincin dan lihatlah Rambutku digelung Minangkara…” lanjut Bima. Sementara ponokawan terheran-heran kini gentian
pihak Kurawa yang marah-marah, karena mengira Bima
sudah tewas mana ada yang sanggup mengalahkan dua
raksasa kembar tersebut. Balik menyalahkan Durna.
“Waaaa…BullShiit kau Durna…berarti benar berita yang simpang siur selama ini kamu itu Guru majenun (Gila)” Duryudana mbengak-mbengok sambil mengacung-
acungkan jarinya kemuka Gurunya sendiri.
“Weeeee…Oelah..lah…le tole… Sabar anak mas Duryudana mungkin dua Raksasa bukan tandingan
Bima, tapi nanti aku akan suruh si guuooblokk..itu untuk
mencebur ke segoro kidul…pasti dia mati…” Pelukan Durna mengakhiri pasowan yang penuh
kemarahan dari pihak kurawa itu.***
“Haaaaa…..Hemmmm… Bopo Durna would you see this one cincin dan gelunganku…ganteng towh… haaa..hmmm..aku tak mendapatkan Kayu gung
susuheng angin… tapi rambutku yang kemarin gondrong Kaya Krisyanto Vokalis eks. Jamrud sekarang
tergelung rapi Haaaaa…Hmmmmm….dan Guru tahukah kamu maksud gelunganku ini..?” “Welah…dalah…gembor monyor-monyor priiittt …gantil buntute pesawat herkules…aku ikut seneng ngger wong Bagus…Wong waluyo… Suwarganya guru itu kalo muridnya pikantuk anugrah …, tentulah aku tahu emang aku Guru Goblookk…aku tau gelungmu itu disebut gelung minangkara rendah didepan dan tinggi
dibelakang itu artinya kamu Bima adalah orang yang
menempatkan kebodohanya didepan dan kepintaranmu
tersembunyi dibelakang, ya towh ….bener apa ndak…?” “Haaaa…Hmmm….iya bener Guru…Maafkan akuuuhhh…” Bima terdiam.
“Tapi Ngger…Cah Bagus Wong Waluyo jati … apa yang kamu dapatkan belum sempurna sebelum kamu
nyemplung ke Segoro kidul untuk mengambil
tirtapewitra…Tirta. Air Kehidupan Ngger…” sambung Durna.
***
Tangis Kunti Pecah “Haduuuhhh…Jangan anaku kamu ditipu Durna majenun…majenun…Guru atau dosen mana yang ngasih tugas njegur kelaut selatan … makanya dari dulu aku sudah bilang mending kalian berguru ke Ibu
Kembang atau Pak Wijaya Kusumah … yang Guru sekaligus kompasianer itu lhooo… aduuuuhhh..katiwasan…” sesaat kemudian tubuh Ibu Kunti, The Mother Of Pandawa member ambruk ke
tanah.Pingsan
“Dulu Bunda selalu bilang bukankah murid harus patuh dengan gurunya tanpa menaruh curigation dengan guru
apalagi alasan pribadi…!! Kalau Teacher Durna Menipu biarlah Karmanya untuk dia …” Bima menoleh dan bersalaman dengan kresna penasihat pandawa, dan
adik-adiknya.
“Biarlah…kita turut do’a dan restu untukmu saja rayi…yen wis dadi tetegeng atimu, anggonmu lelaku extreme-diving ke segoro kidul …” ucap kresna sambil mengusap rambut Bima.
Sanak handai taulan Pandawa Yudistira, Arjuna, Nakula
dan Sadewa saling berangkulan, tangis mereka pecah,
hilang dihisab angin yang menderu kencang saat bima
meninggalkan Amerta, “kesedihan adalah nyanyianku, petir menyambar adalah cahayaku, kilat-kilat adalah
musikku, inilah aku jiwa yang berpasrah, pelukan
terakhir kalian adalah madu kala dahagaku, do ’a kalian adalah puji2an pengantarku meraih kesempurnaan” Lantunan sajak Bima samar-samar hilang dari gapura
istana, saudara-saudara menatap. Pilu
Sindenku yang baru Acik Mukhtar sampai kacau balau
saat mendandhanggulakan sajak kepergian kesatria
Amerta, menyusuri tanah lapang kurukhsetra, entah
karena ikut larut sedih atau kepedesan… Ana atur segah tantinolih…sotoku baru dimakaann…, lankung adreng prapteng kuruksetra, marga geng
kambah lampahe mendoanku…., glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi…cabenya jangan dihabisin, puncak mutyar muncar, saking adoh ngenguwung, lir
kumebyarin baskoro …kuahnya kurang banyak, kuneng wau kang lagya neng margi, wuwusen ing ngastino…ga ada tukang soto…. :) Menjelang nyemplung Bima dihadang benda melintang
mengahalangi jalanya...
“Weeehhhh… Jancuuukk…siapa ini yang menghalangi jalanku…Minggir…” namun percuma jangankan terangkat bergeser pun tidak benda itu walaupun sudah
sekuat tenaga.
“Geser saja sendiri…aku Hanuman Kakangmu, sama- sama titisan Dewa Bayu…kau punya pancanaka aku juga punya nihhh..lebih bersih malah…Makanya janganlah kamu bertindak angkuh berjalan diatas Bumi-
Nya, langit Allah berlapis Tujuh kamu baru bisa melihat
satu lapis saja sombong…”lanjut hanuman Setiap kresna memutihkan hatinya Hanuman pasti akan
muncul Hanoman, karena itulah hanuman diberi tugas
untuk mencegah Bima.
“Waaahhh…ternyata kamu kakang hanuman …aku sudah tekad bulat, apapun yang orang katakan tentang
Durna, Durna itu tetap Guruku kalau dia menipu biarlah
dosanya ditanggung sendiri” jawab Bima.
“Waaahhh…ternyata kamu kakang hanuman …aku sudah tekad bulat, apapun yang orang katakan tentang
Durna, Durna itu tetap Guruku kalau dia menipu biarlah
dosanya ditanggung sendiri” jawab Bima. Aji Mundri yang dimiliki hanuman membuat Bima tidak
dapat mengangkat ekor Hanuman, Aji yang sama yang
dipakai pada saat memindahkan Gunung Slamet dan
Merapi untuk membendung Samudra Ayodya dan
Alengka, Hanuman menjelaskan bahwa tekad saja tidak
cukup untuk nyemplung kelaut, Kemudian Hanuman mengajak Bima bertarung, Bagaimana bisa menang
mengangkat ekor Hanoman saja Bima tidak sanggup.
Sejatinya karena kesombongan dan keangkuhan
Bimalah buntut Munyuk Putih itu tak bisa terangkat,
perkelahian pun terjadi tapi berakhir seri.
“Eeeeee…Begegek Ugek-Ugek Sak Dulito …Hemel- Hemel…. Hentikan Hanoman Biarkan Bima Njegur Man Hanoman…” Ki Janggan Asmarasanta atau Semar datang melerai, dengan saksinya Bima Akhirnya
nyemplung ke dalam palung laut selatan.
Dipalung laut selatan Bima bertemu Naga Raksasa,
dililitnya Bima dalam keadaan hampir pingsan antara
hidup dan mati. Bima ingat akan kuku pancanaka-nya,
terkoyaklah moncong si Naga lenyap dan diiringi munculnya sosok Bima yang gedenya hanya sekepal
tangan Bima, Bima bantet meminta Bima masuk kedalam
telinganya. Bima :”Waaaaaaa….ditengah samudera ada anak kecil, menyerupai aku….meminta aku masuk ketelingamu mana bisa?kamu itu siapa?” “Aku Dewa Ruci, Bimaaaaa… jangankan kamu seorang…seluruh alam, jagad raya semesta ini bisa aku muat kedalam perutku… Karena akulah dirimu, Kenalilah dirimu maka kau akan ketemu siapa aku …” ucap si tubuh kecil mirip Bima
Dewa Ruci : “Bratasena kamu masuk kedalam samudra ada keperluan apa?” Bima :”Aku mencari tirtapewitra…?” Dewa Ruci : “Bratasena…tirtapewitra itu air suci adanya didalam hatimu sendiri.. Hatimu yang selama ini kotor
penuh hawa nafsu, dan kesombongan membuat kau
jauh dari Aku Tuhanmu, Sekarang hatimu sudah bersih
inilah wujud air suci itu “Aku Tuhanmu” sedangkan Aku yang sebenarnya adalah dirimu sendiri, siapa yang
mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhan-nya.. ” Bima : Waaaaaa… aku bingung….?Bagaimana jelasnya? Dewa Ruci : Peristiwa pergulatanmu dengan Nagaraja,
dan kuku pancanakamu mengenainya lalu lenyap itu
sebagai pertanda kalau kau Bima sudah mampu
mengendalikan bahkan melenyapkan nafsumu, dan
jiwamu bangkit dari ragamu yang fana ibarat kau mati
didalam hidupmu, sekarang nafsumu sudah pupus setelah kau ditepis ombak, digulung Naga, kamu merasa
apa tidak…? Bima akhirnya sadar bahwa ia sedang berhadapan
dengan Dewa Ruci (Tuhan), dengan kekuatan dan izin
sang Maha Kuasa-lah sehingga Bima benar-benar
merasakan Nikmat tak terhingga, kesejahteraan tanpa
batas, Ketentraman tanpa ujung.
Bima : Duuuhhh…Tuhanku..jelaskan jalan menuju kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, Manakah jalan
itu? Dewa Ruci : Iya Senaaa… akan kuturuti masuklah kedalam Tubuh-Ku… Jika kau sudah madep, mateg, mantep semoga kau akan menemukan Kesempurnaan.
Inilah yang dalam pelajaran Tassawuf Jawa “Curiga manjing warangka,warangka manjing curiga ” artinya curiga/keris bersatupadu dengan sarungnya, sarungnya
bersatu padu dengan keris, tafsirnya sifat keTuhanan
(Sifatullah) bersatu padu dengan manusia, dan manusia
bersatupadu dengan sifat keTuhanan.
Akhirnya Bima masuk kedalam Wadah Raga Dewa Ruci,
wadah raga yang bisa diartikan Rahim tempat Bayi yang masih suci, jadilah Bratasena ya werkudara suci lahir
bathin, kesucian dirinya membuat ia dekat nyaris
bersentuhan dengan Tuhan Yang Maha Suci, Jauh tanpa
hilang dari penglihatan-Nya, Seketika ketentraman dan
kesejukan membalur jiwa raganya. Kenikmatan sejati
yang didambakan setiap makhluk-Nya. Bima : Puasnya hatiku Duhh…Tuhan…Rasanya inilah tempat luas yang tak memberiku batas, inilah anggur
kebahagian, dan inilah kesempurnaan saripati hidup,
nyawa, bumi dan langit, tentram aku Oh Tuhan tiada
kesedihan. Dewa Ruci : Bratasena kamu sudah sanggup
menyingkap mihrab, tabir yang selama ini menghalangi
hatimu untuk mendekati Tuhan-mu Yang Maha Esa,
Bratasena jangan kaget tunggal-tunggal cahaya
beraneka warna-warni itu sebagai tanda kamu sudah
diijabahi Tuhan bisa mengendalikan nafsu duniawimu, melalui laku, Cipta, Rasa, Raga, karsa dan jiwa, Saling
asah, asih, asuh, tekad yang kuatmu lebur dalam Sepi
ing, pamrih rame ing gawe,memayu hayuning bawono.
Bima : waaaaaa…. Bahagianya hatiku…Jika begitu ijinkanlah aku tinggal disini selamanya.
Dewa Ruci : Jangan Anak-Ku ….ini belum saatnya… ketahuilah yang pertama masih ada tugas yang belum
kau selesaikan, kedua ibarat orang makan kamu
sekarang hanya mencicipi saja, esok jika tiba waktunya
kamu akan mendapatkan ketentraman yang kekal, yang
lebih dari pada ini…Sekarang Anak-Ku keluarlah…. Keluarlah Bratasena dari Raga Dewa Ruci (Sifat Tuhan),
seiring keluarnya Bima lenyaplah sifat ke-Tuhanan Dewa
Ruci, masuk menyatu kedalam Raga Werkudara Ya
Bratasena Ya Bimasena Ya Bima Suci. Kuatnya tekad
Bima dalam mencari ilmu sampai mendapat ilmu
kesempurnaan hidup, pencapaian seorang hamba dalam ma’rifat tertinggi penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selesailah Semedinya.