• [Kamis 23/05/2012] Naruto 587
  • [Kamis 23/05/2012] One Piece 668
  • [Kamis 23/05/2012] Bleach 493
  • [Minggu 27/05/2012] Fairy Tail 284
  • 16 Mei 2011

    (Subuh, Madiun – Magetan, di Parang Mas)
    Di ladang Kuru setra. Bau busuk bangkai hewan tunggangan perang yang berserakan semakin menusuk hidung. Darah para prajurit, senopati, dan agul agul pandawa maupu kurawa yang gugur sebagian mengering, sebagian masih terasa basah berjampur rereumputan kering dan debu musim kemarau. Semilir angin pagi hari mendendangkan senandung kepedihan, kesedihan. Rumput rumput kering berserakan tercerabut dari tanah berpijak, begitu pula nyawa para prajurit yang telah gugur terpisah dari raganya.
    Ladang Kurusetra, sejak jaman kuno ketika Hutan Hastinapura diubah menjadi kerajaan oleh Prabu Gajah Hoyo (oleh karena itu jagad mengenal Hastinapura dengan sebutan Kerajaan Gajahoyo) telah menjadi saksi puluhan perang besar. Perang besar dunia pertama juga terjadi di sini. Ketika Prabu Tremboka dari Pringgandani mati sampyuh bersama Prabu Pandu kala itu. Pandu mati muda meninggalkan dua orang istri dengan anak2 yang masih kecil, bahkan Nakula Sadewa belum putus tali pusarnya.
    Hari ini ternyata Sangkuni tidak mematuhi pesan Salya kemarin sore. Paling tidak itulah yang dilihat Salya. Kurawa telah memulai formasi perangnya dan menyerang prajurit Kurawa. Dari kejauhan Salya melihat Setyaki bertempur melawan…siapa di sana? Salya tidak mengenalinya. Namun perkiraannya mengatakan, pastilah lawan Setyaki itu adalah salah satu sekutu Duryudono dari Kerajaan sebrang. Drestajumena, senopati Pandawa itu, melawan musuh lain yang juga tidk dikenalnya. Begitu pula para prajurit tingkat bawah saling beradu satu sama lain. Salya belum lagi beranjak untuk memerintahkan pasukan setianya maju menggempur formasi Pandawa. Dalam hati dia mengumpat, Sangkuni memang tidak tahu tata krama. Sudah dipesannya jangan sampai tanpa perintahnya digelar formasi perang. Sebab dia adalah Senopati Agung. Di bawah kendalinya lah seharusnya segala pergerakan perag hari ini berada. “Duwoyoto…!”
    “Hamba sinuwun prabu..”
    “Sangkuni dan para kurawa memang tidak tahu tata krama dan sopan santun. Sudah aku pesankan, jangan sampai menggelar pasukan hari ini tanpa seijinku. Tapi mengapa mereka lancang mendahului perintah senopati??”
    “Sinuwun Prabu memang benar adanya, namun lama lama saya amati, kelihatannya mereka bukan pasukan Kurawa sinuwun. Hamba tidak melihat pasukan kurawa dan kurawa ada di medan laga..”
    “Oh ya…we la…siapa mereka Duwayata? Kelihatannya memang mereka sekutu Kurawa. Tetapi mengapa tidak terlihat Kurawa di sana? Hmm….ya sudah biarkan saja. Tahan pasukanmu, tidak perlu melakukan gerakan apapun”
    “Sendika sinuwun…”
    Maka demikianlah, Salya dan pasukan Mandaraka hanya diam menunggu dan mengamati apa yang terjadi di medan laga. Debu bergulung gulung beterbangan karena sapuan kaki kaki prajurit yang sedang bertempur, atau karena hentakan kaki kuda, gajah dan tunggangan yang lain. Suara gemuruh terdengar riuh rendah. Teriakan kemenangan berselang seling dengan jerit kesakitan. Sorak sorai yang berhasil merobohkan ditimpali erangan mereka yang dirobohkan. Pedang beradu dengan tameng, tusukan tombak mendesis menerjang sasarang. Anak panah bagai guyuran hujan dari dan menuju kedua belah pihak yang berlawanan.
    Teriakan sorak sorai dari arah pandawa tiba tiba membahana. Setyaki berhasil merobohkan lawannya. Dengan ketangkasan dan keprigelannya, Si Bima Kunting ini berhasil merebut tombak lawannya setelah dua tiga kali menghindar terjangan. Sambil melenting menghindari tusukan horisontal tombak sang lawan, dikirimkannya tendangan tumit kaki kiri mengenai leher lawan. Lawan terhuyung ke belakang. Secepat ular mematuk mangsa, tangan Setyaki menghujamkan tinju ke pergelangan lawan, tombak terjatuh. Bersamaan dengan robohnya sang lawan. Setyaki sudah menggenggam tombak itu. Kendali sekarang ada padanya. Lawan yang roboh mencoba bangun, dengan terhuyung dia berdiri. Dicabutnya keris dari pinggangnya. Di sebrang sana Setyaki siaga memasang kuda kuda. Lawan melompat menerjang dengan keris terhunus. Setyaki melemparkan tombak ke sasaran. Tepat menghujam dadanya. Darah mengucur deras. Sang lawan sekali lagi roboh, kali ini tidak mampu bangun lagi. Sorak kemenangan prajurit pandawa menggema menggetarkan Kurusetra.
    Di sisi lain, Drestajumana sibuk dengan lawan yang lain. Namun kelihatannya, ini bukan lawan sebanding baginya. Nyalinyapun ciut. Belum lagi sampai beradu senjata, namun begitu diketahunya bahwa senopatinya telah dikalahkan Setyaki diperintahkan pasukannya mundur.
    Begitulah akhirnya, sekutu kurawa inipun kalah memalukan. Gemuruh kemenangan prajurit pandawa. Mereka tidak mengejar pasukan musuh yang lari tunggang langgang. Sebab, meskipun ini perang besar dan bisa jadi akan habis habisan, ada aturan yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Salah satunya, tidak boleh ada penyerangan bagi mereka yang mundur. Apalagi sudah di luar padang Kurusetra. Perang ini hanya berlaku di ladang Kurusetra.
    “Sekarang saatnya Duwoyoto, ayo perintahkan pasukanmu maju menerjang Pandawa..!”. Dan pasukan Mandaraka pun maju menyerbu. Sebagai incaran mereka tentu saja jika berhasil meringkus atau merobohkan salah satu pandawa lima, sudah cukup untuk menyatakan mereka menang. Namun tentu saja hal ini tidaklah mudah. Sudah tujuh belas hari perang ini berlangsung. Sudah berribu2 pasukan dikerahkan, sudah berpuluh panglima perang diturunkan Kurawa. Toh para pandawa masih segar bugar tanpa cela.
    Drestajumena sedikit terkejut melihat serbuan pasukan Mandaraka. Meski sudah terdengar kabar sebelumnya, akan turun nya Salya di perang ini, tetap saja ada rasa was was di dadanya. Dia tahu, bagaimana tingginya keahlian Salya dalam strategi perang dan keprajuritan. Narayana pun mengakui ini. Ajian Canda Birawa yang disandang Salya, membuat siapapun miris. Namun dia adalah Senopati Pandawa sekarang, maka ditatanya perasaan diteguhkannya tekat. Dilihatnya wajah – wajah cemas pasukan Pandawa. Bahkan Setyaki sekalipun miris. Kabar mengerikan yang sayup – sayup dihembuskan Kurawa memakan mangsa. Tidak akan setengah hari, Pandawa dan seluruh pasukannya akan tumpas oleh Canda Birawa. Drestajumena, sang senopati membangkitkan kembali semangat pasukannya, “Kalian prajurit Pandawa…! Ingatlah kalian mengemban tugas suci saat ini. Jangan kalian ingkari kesanggupan dan janji kalian hanya karena kengerian akan kabar kesaktia Salya yang belum tentu benar. Aku sama sekali belum pernah melihat kebenarannya, kecuali kabar bohong yang sengaja disebarkan Kurawa. Para pendusta itu….! Apakah kalian percaya? Apakah kalian tidak malu ngeri dengan kabar bohong itu? Hayo tunjukkan keberanian kalian yang sudah terbukti dalam perang ini..Sudah terbukti ribuan prajurit kita robohkan, ratusan panglima Kurawa kita lumpuhkan, bahkan Maha guru Druno sekalipun. Tidak ada alasan untuk tidak bisa merobohkan Salya hari ini. Kembali ke formasi bunga teratai, lindungi Pandawa…!!! “
    Pasukan pimpinan Drestajumena mengikuti perintah panglimanya. Entah sukarela atau terpaksa, hanya mereka yang tahu. Di pihak lawan, para prajurit Mandaraka maju menyerbu. Riuh rendah suara penyemangat perang terdengar dari arah mereka. Memang benar kondangnya, meski jumlahnya tidak seberapa ketangkasan mereka luar biasa. Mereka yang menunggang kuda atau menyerbu dengan berlari sama tangkasnya. Ketika jangkauan mereka sudah tercapai anak panah, ribuan anak panah menghujani pasukan Mandaraka itu. Luar biasa, tidak satupun dari mereka terkana. Sambil tetap maju menyerbu, mereka menangkis anak panah yang melesat dengan tameng, pedang, atau bahkan tombak mereka. Pasukan Mandaraka semakin dekat…dan duel satu lawan satu tak terelakkan. Bergelimangan pasukan Drestajumena tak kuasa menghadang mereka. Namun jumlah pasukan Mandaraka tidak sebanding. Perlahan mereka kewalahan juga, satu pasukan Mandaraka kira kira berhadapan dengan sepuluh pasukan Pandawa yang juga sangat terlatih. Melihat pasukannya berjatuhan, timbul amarah Salya. Yang tadinya sebenarnya hanya “lamis” dia berperang, cintanya kepada pasukan dan simbul simbul Negara manadaraka yang dicederai lawan, membuatnya marah juga. Disingkirkannya rasa ewuh pekewuh dan rasa welas kepada para pandawa keponakannya. Di medan laga ini, tidak ada keluaarga, tidak ada sanak saudara, tidak ada pepunden sesepuh. Yang ada hanyalah lawan, yang ada hanyalah musuh. Tidak ada kasih sayang, tidak ada welas asih. Yang ada hanyalah melukai jika tidak ingin terlukai, yang ada hanyalah membunuh jika tidak mau terbunuh. Dikerahkannya kesaktiannya. Panah disiapkan dibusurnya, secepat kilat panah itu terlepas dan ribuahn panah tiba2 saja seolah menyembur dari kereta salya menghujani arah pandawa. Drestajumena berteriak memberikan komando, “Kakang setyaki…bawa pasukanmu seutuhnya, kepung kereta Salya..Jangan sampai dia mendekat ke arah Pandawa…!” Segera Setyaki dan ratusan pasukannya mengepung kereta Salya. Ratusan tombak dilemparkan ke arah Salya. Tidak satupun mampu melukainya. Bahkan kuda kuda kereta itupun seolah hanya digigit semut ketika terkena senjata dari arah pasukan Setyaki. Setyaki dan pasukannya terdesak mundur, meski hanya menghadapi seorang Salya. Sebagian pasukan Drestajumena membantu menghadang laju Salya. Tak kuasa, panah Salya seolah tiada henti menyembur dan memakan korbannya. Jarak antara salya dan para pandawa di tengah formasi bunga teratai tak lebih dari sepuluh lapis pasukan, dengen Setyaki dan Drestajumana di garis depan. Arjuna bertindak. Dilepasknnya panah ardodedali, tidak mampu mengeni Salya. Namun menghantam payung kereta, menyambar leher kusir Duwuyoto. Mati seketika sang patih Duwoyoto.
    Semakin menjadi jadi marah Salya. Sejenak kereta kehilangan keseimbangan karena ditinggalkan kusirnya. Sekarang Salya memegang sendiri tali kekang, sambil sesekali tangan kanannya melempar tombak ke arah pasukan pandawa untuk mencari jalan menyerbu Pandawa. Salya benar benar tidak lagi melihat pandwa sebagai kelurga, mereka semua dalah musuh saat ini.
    Dari luar gelanggang Kresna berteriak, “Yayi Yudistira…sekarang giliran adinda…!”
    Yudistira maju menerjang dengan menunggang kuda putih. Mengitari kereta salya seolah2 meledek Salya, “Mana ajian Canda Birawa Salya yang terkenal itu? Apakah terkenal kabar dustanya saja? Sebab sekalipun belum pernah aku melihatnya… ” Sayup sayup itulah yang didengar Salya. Meski terbersit juga keraguan, benarkah Yudistira selancang itu kepadanya meski ini di medan perang??
    Di alam tapaksuci yang memisahkan dunia dan alam baka, arwah Bagaspati yang masih menunggu anak menantu tersayangnya mendapati momen yang dinantikan. “We lah…inilah saatku menghadap ke pengayunan Yang Maha Menang, sudah cukup lama aku menunggu. Sekarang Narasoma sudah berhadapan dengan manusia berdarah putih. Yudistira….jangan kaget, aku akan menyatu dengan ragamu.”
    Salya semakin merasa terhina ketika kuda Yudistira hanya mengitari, mengejek dirinya. Lemparan tombak dan lontaran panah, tidak satupun mengenai Yudistira. Dikesampingkannya rasa ragu dan kasih sayang pada Yudistira, diucapkannya mantra ajian Candabirawa. Seketika muncul dihadappnya monster kerdil menyeramkan,”Narasoma….mengapa kamu panggil aku hmmm?”
    “Canda birawa..,berpuluh tahun kamu di ragaku baru kali ini aku menyuruhmu. Yang menunggang kuda putih itu Ratu pandawa, hisaplah ubun2nya agar sampai pada kematiannya..”
    “Wah..ha ha, jangan kuwatir tidak sampai kedip matamu usai, Yudistira akan tewas”. Dan ketika monster itu menampakkan wujudnya benar2 membuat prajurit yang melihat heran dan ngeri. Meski secara spontan itu membuat mereka maju menyerbu monster kecil itu. Bukan erangan kesakitan yang keluar dari mulut monster itu ketika berbagai sanjat menghujam tubuhnya, tetapi tawa kegirangan. Dan seketika monster itu berlipat seperti amuba membelah diri. Satu jadi sepuluh, sepuluh menjadi seratus, dan ratusan monster itu membuat pasukan pandawa dan senopatinya tunggang langgang. Sekarang hanya Yudistira yang menghadapi. Semua yang melihat keheranan melihat keanehan ini. Selama hidupnya, Yudistira tidak pernah perang. Kali ini begitu gagah beraninya dia menghadang Candabirawa, yang bahkan Bima Janaka pun ciut nyalinya. Keajaiban itu semakin bertambah ketika ratusan monster kerdil itu mendekati Yudistira. Bukan rasa benci apalagi amarah yang terlihat di wajah monster itu, tetapi kegembiraan yang luar biasa karena kerinduan yang kelihatannya sangat lama terpendam. Lihatlah seolah mereka anak anak kecil yang seharian ditinggal ibunya. Semmuanya menubruk dan ingin merangkul Yudistira. Entah apa yang terjad, ketika tubuh2 mereka menyentuh Yudistira, seketika hilang tidak berbekas.
    Tak terdengar lagi raungan monster2 canda birawa. Yudistira bersiap. Dihusnya panah dari sarungnya, dipasangkannya ke busur. Panah itu sudah ditumpangi Jimat Kalimasada. Seolah tanpa ragu dan tetlihat sangat terlatih, Ydistira melepaskan anak panahnya. Tepat mengenai dada Salya. Salya gugur memenuhi janji dan melunasi hutangnya. Bagi yang melihat kasar mata mungkin itu adalah penderitaan dan aib. Namun bagi Salya sebaliknya. Inilah bukti cintanya pada pandawa dan kebenaran. Dikorbankannya nyawa untuk membelanya. Ini pula momen yang ditunggunya, ketika dia melunasi hutang kepada Bapak mertuanya. Dengan demikian, dia pulang ke pangkuan yang maha sempurna, dengan kesempurnaan. Paling tidak tiada membawa beban dan janji yang tak terlunasi.


    Artikel Terkait:

    0 Komentar:

     
    Follow This Site Manga Reader Features | Tampilan Full Screen [F11] | Zoom [Arahkan cursor pada gambar] | SlideShow [Klik gambar]