16 Mei 2011
Pandawa, bagaimanapun telah kehilangan pepunden dan pengayom sejati. Hutang budi ini rasanya tak akan terlunasi. Pengorbanan nyawa dan raga Salya yang hancur lebur adalah wujud cintanya pada pandawa. Tanpa kerelaan Salya, mustahil pandawa dapat mengalahkan Salya.
Setyawati diiringi Sugandini “kedarang darang” sampai di tepian Ladang Kurusetra. Terasayup suara gemuruh para prajurit menggunjingkan kemenangan Yudistira atas Salya. Meski sudah diduganya berita itu akan terjadi, meski telah disiapkannya mental dan jiwanya menghadapi kenyataan ini, tetap saja perih rasa dan serik di dada tak mampu ditahannya. Tangisnya meledak air matanya tumpah. Terlalu manis kenangan bersama sang guru laki puluhan tahun ini untuk ditinggalkan. Dalam kepedihan tiada peri, berkelebat bayang2 masa lalu bersama Salya. Serasa hadir kembali kembali kelebat bayangan Salya saat melakukan tapa brata di Gunung Argabelah puluhan tahun itu. Saat pertama kali yang membuatnya jatuh cinta. Semenjak itu setiap waktu terasa indah bagi mereka. Cinta menggelora menyatukan mereka, cinta itu tumbuh ditaburi kasih sayang yang subur. Burisrawa, Rusmarata, Erawati, Banowati, dan Surtikanti adalah putra putri benih kasih sayang dan cinta mereka berdua. Ah..begitu cepat waktu berlalu. Sekarang….sang kekasih telah pergi meninggalkan dirinya. Tiada ada kesanggupan dlam kesendirian.
Hari telah mulai gelap waktu itu. Mendung yang menggulung gelap gulita tiba – tiba saja berarak menutupi ladang kuru setra. Entah ini pertanda apa. Endang Setyawati turun dari kereta. Kereta sudah tidak mungkin dapat melanjutkan laju. Ladang kurusetra dipenuhi bangkai prajurit, patahan tombak, belahan tameng, panah yang berserakan, tumpukan belulang bangkai hewan tunggangan. Setyawati menyingsingkan kain jaritnya, tidak peduli tersandung bangkai, menginjak patahan panah, tersaruk darah segar, terus diterabasnya ladang kuru setra. Tekadnya hanya satu, menemukan jasad Salya jika memang kekasihnya itu telah gugur. Namun hari yang gelap mendung yang menggulung menyulitkan langkahnya mencari Salya. Sudah tidak ada tangis lgi kali ini. Pandangannya sama sekali tidak berfungsi karena gelap. Hanya perasaan dan tuntunan batin yang kuat membawanya ke arah sekiranya jasad Salya berada. Tiba tiba kilat menyambar sekejap. Terangnya sesaat menyinari jasad salya yang bersimbah darah dada terbelah menyandar bangkai gajah. “Kakang Salya….hamba tidak dapat hidup sendiri tanpa dirimu..”, jeritnya. Dihunusnya keris di pinggang Salya, keris itulah yang mengakhiri hidupnya. Dengan senyum manis, jasad Setyawati tersandar di dada Salya. Sugandini tidak mau tertinggal. Bertiga mereka sampyuh di Ladang kuru setra.
Kresna dan Bima terlambat datang untuk mencegah niat Setyawati. Namun jikapun pada waktunya, niat Setyawati tidak mungkin di cegah. “Sudah sudah Wrekudoro, memang ini semua sudah menjadi kemauan Ibu Ratu Setyawati. Kita berdoa kepada Yang Maha Punya wewenang, semoga tempat trbaik diberikan bagi Rama Prabu dan keluarganya..Masih banyak kewajiban harus diselesaikan. Lihatlah….yang datang dari kejauhan itu. Sangkuni datang dengan serombongan Kurawa yang tersisa. Kelihatannya..mereka tidak rela dengan kematian senopati kurawa..”, Kresna menenangkan Bima.
“Apa yang harus aku lakukan?”, Bima menyela. “Wrekudara, Sangkuni memang ringkih badannya tapi sanjata apapun rasanya tidak mempan mengenai badannya..”
“Terus bagaimana??”
“Badannya liat karena sewaktu bayi dia pernah bergumul minyak tala. Seluruh badannya terbasahi minyak tala, kecuali selangkangannya..! Sobeklah selangkangannya!”
“Doa restumu menyertaiku jiteng kakangku, aku sempurnakan urusan Sangkuni..”