• [Kamis 23/05/2012] Naruto 587
  • [Kamis 23/05/2012] One Piece 668
  • [Kamis 23/05/2012] Bleach 493
  • [Minggu 27/05/2012] Fairy Tail 284
  • 16 Mei 2011

    Maka dimulailah babak akhir perang besar Mahabarata Jaya Binangun ini. Doryudana telah mengenakan kembali pakaian perangnya. Disiagakan dirinya menghadapi Wrekudara, dengan satu taruhan dan perjanji. Jika Bima kalah, artinya pandawa kalah. Bima Kresna menyanggupi perjanji itu. Toh tanpa dimiminta perjanji sperti itu, jika salah satu dari pandawa gugur karena apapun mereka berlima telah sepakat berakhir pula keberadaan masing masing mereka. Begitulah janji setia di antara mereka berlima. Pandawa adalah lima, tak kurang ataupun melebihi. Jika kurang dari lima, maka pandawa tiada lagi.
    “Werkudara…..”, Duryudana memulai tantangannya, “Hayoh, keluarkan kesaktianmu, bacalah jimat manteramu, mengaduhlah kepada leluhurmu jika perlu agar mampu menandingiku”.
    “Kakang Duryudono, tanpa japa mantra Werkudara tidak akan selangkahpun mundur meladeni kemuanmu”.
    Dari luar arena Baladewa, Kresna, Nakula, Sadewa menyaksikan pertarungan itu. Bagaikan dua gajah jantan, mereka bertarung merebut keunggulan. Sebentar sebentar tanah tempat berpijak seolah dilanda gempa. Mereka saling menerjang ganti menghindar, saling meringkus saling mengunci. Sekali waktu hantaman tangan Bima mengenai pundak Kurupati. Hal itu membuatnya terhuyung bebarapa langkah ke belakang. Disiapkannya kuda – kuda serangan, dia melompat membuat bumi bergetar. Duryudono
    menerjang mengirimkan tendangan, Bima menghindar menyamping sambil mingirimkan pukulan. Menimpa udara kosong. Mereka berdua menggeram, suaranya bagai guruh menjelang hujan. Terdengar suara itu menyimpan dendam menghamburkan amarah. Seolah ingin menelan mentah2 hati dan jantung sang lawan.
    Duryudono dipenuhi oleh nafsu berkuasa dan kemanangan yang sangat mungkin diraihnya. Yang diperlukan sekarang hanyalah melumpuhkan Bima agar Pandawa bertekuk lutut. Seharusnya ini tidak sulit dilakukannya. Dia masih segar bugar, sementara Bima telah berhari hari terjun ke medan laga Baratayuda. Sekuat apapun fisik Bima, akan ada batasnya. Dia percaya tenaga Bima sudah banyak terkuras. Belum lagi kelelahan jiwa dan sakit hati karena gugurnya Gatotkaca dan ngelalunya Arimbi. ‘Seharusnya pertarungan ini tidak sulit’, begitu pikir duryudono.
    Sementara Bima bertarung dengan mengusung dendam di hatinya. Sekarang ini melihat Duryudono yg sebenarnya masih darah daging sendiri dari trah Resi Wiyasa, seolah singa betina yang melihat buruannya. Ingatan akan peristiwa bale sigolo – golo, pesta sukan dadu, dan kelicikan srta keculasan Duryudono yang lain saling berkelebat mengganggu fokus bertarungnya. ‘Ah kakang Duryudono selama hidupnya tidak pernah bertarung, ototnya tidak pernah terlatih, gerakan tubuhnya hanya untuk kemawan. Tiada akan perlu waktu lama aku akan bisa meringkusnya.’. Tapi Bima pun salah sangka. Saat ini Duryudono sudah terpojok seperti tikus yg di buru di sudut dinding. Tiada pilihan, selain melawan sang pemburu. Mungkin justru di sinilah kekuatan tersembunyi Duryudono keluar. Berkali kali, dia bsa menghindar terjangan Bima.
    Tanpa dikira siapapun, Duryudono , bergerak lincah, bertaruk trengginas, menghindar dengan tangkas. Bahkan sesekali mampu membuat Bima terhuyung manakala kuda kudanya tidak cukup kokoh.
    Tapi Duryudono pun salah mengira. Werkudara yg sudah belasan hari turut berperang di Kurusetra, masih memiliki lebih dari cukup stamina untuk meladeninya. Bima masih bertenaga hanya untuk sekedar memiting, menerjang dan menghamburkan tendangan ataupun pukulan ke arahnya.
    Tanpa terasa hari menjelang senja, dan bagi mereka yang menyaksikan belum trlihat tanda2 siapa yang akan unggul dalam laga ini. Kini masing masing memegang. Bima memegang Gada Rujakpolo, begitu pula Duryudonoa dengan Bindi saktinya. Keduanya merupakan murid Baladewa dalam olah senjata gada. Maka tidak heran meraka sama – sama cakap menggunakan senjata gada itu, meski Bima terlihat lebih unggul. Berkali – kali hantaman bindi Duryudono dapat ditangkis oleh Bima atau menerpa ruang hampa. Sebaliknya bertubi – tubi tubuh Duryudono terhantam gada Bima dengan kekuatan penuh. Namun hantaman itu yang dalam kondisi normal seharusnya sudah merubuhkannya, saat ini terasa seperti lecutan sebatang lidi saja bagi Duryudono. Entah kesaktian apa yang dikerahkan oleh Sang Kurupati. Mungkin begini kalau seekor tikus sedang tersudut, kekuatan bawah sadarnya keluar dan menamengi dirinya.
    Bahkan Bima pun sudah merasa lelah mengayunkan gada menghajar tubuh Duryudono. Dalam hatinya bertanya kecut, “Mengapa Kakang Kurupati saat ini seperti memiliki tameng karet tak terlihat ? Berkali – kali hantaman gada Rujak Polo yang bahkan Gunung Himalaya pun hancur jika terkena, seolah membal baginya ?”.
    Dan …brakk…..Hantaman bindi Duryudono menghajar pinggang Bima saat konsentrasinya menurun. Bima terhuyung ke belakang mengumpulkan kekuatan. “Hayoh…Bima mana kekuatan dan kesaktianmu, kondangnya kamu kuat sentosa sekokoh Gunung Himawat. Ternyata…hanya begitu saja kemampuanmu anak gembala !!!”, Duryudono tertawa gembira melihat musuhnya terhuyung. Kini dia di atas angin, sebentar lagi Bima akan tumbang, dan Pandawa bertekuk lutut di kakinya, jika demikian.
    Nakula, Sadewa merasa was – was dan ketakutan. Tentu saja mereka juga heran, mengapa Gada Bima seolah tak berguna kali ini ? Bima bangkit ditenangkannya pikirannya. Dia menoleh kepada Kresna seolah minta saran. Kresna pun sedari tadi juga sudah tanggap akan hal ini. Kresna menepuk – nepuk pahanya seolah memberi isyarat kepada Bima.
    Duryudonoa maju menerjang, dengan kekuatan penuh diayunkannya Bindi yang dipegangnya. Bima siaga. Ketika Kurupati menerjang, Bima bersiap. Sambil berlutut dihantamkannya Rujakpolo dengan mengerahkan semua tenaga yang dimilikinya. Dibidiknya paha Duryudono. Dan benar….seketika Duryudono rubuh tanpa bisa bangun kembali.
    Dendam kesumat menguasai darah dan kepala Bima. Duryudono yang sudah sekarat dihajarnya habis – habisan. Pahanya terus dihantam hinggak remuk redam. Hantamanya naik ke tubuh harjuna, hancur luluh. Tubuhnya remuk, lengannya hancur, wajahnya tak terbentuk. Duryudono mati sia lebih mengenaskan daripadi hewan ternak yang dirajang – rajang sang jagal.
    Hatta..melihat kejadiang yang di luar batas kemanusiaan seperti itu, Baladewa marah bukan kepalang. Wajahnya memerah, matanya mendelik, suaranya menggelegar layaknya guruh di musim panca roba. “Hoe…Wrekudara – Wrekudara, apakah kamu masih punya rasa manusia ?! Apakah hanya kamu yang bisa menang perang?? Sudah tahu yayi Kurupati sekarat tanpa bisa melawan. Mengapa kamu cincang – cincang seperti hewan ternak !!! Haoyoh…jangan hanya Kurupati yang kamu kalahkan, Baladewa sekarang lawanmu….”. Dengan senjata Gada Nanggala Baladewa siap melompat melabrak Baladewa. Sebelum itu terjadi Kresna menghadang, “Sebentar – sebentar Kakang Prabu…”.
    “Bagaimana….!?, Wrekudara benar – benar sudah hilang rasa kemanusiaannya. Maka pantas kalau aku menghajarnya…Biarkan dia melawanku…”
    “Kakang Baladewa, ya boleh – boleh saja. Tapi mohon dengarkan apa yang akan saya katakan”
    “Apa….??!!!”, Baladewa masih dengan nada amarah. Nakula Sadewa, terdiam ketakutan. Bima telah pula bersiap dangan apa yang tejadi nanti.
    “Kakang Prabu…”, Kresna manusia titisan Wisnu itu melanjutkan ucapannya. “Pertama, sifat dan watak Duryudono yang angkara murka itu hanya akan hilang dengan musnahnya
    Duryudono. Kedua….Perang Barata yuda ini bukan hanya sekedar menang atau kalah. Perang ini merupakan arena pihak yang berhutang untuk membayar, merupakan media pihak yang berjanji untuk menepati, merupakan sarana menuai bagi pihak – pihak yang menanam. Semua manusia pasti akan menuai apa yang ditanam dan mengenakan apa yang dijahitynya. Kakang………..demikian juga bagi Duryudono. Dulu…ada pandita dari padepokan Maestri yang bernama Begawan Metriyo. Sang Pandita sedang bertapa mbisu, artinya tapa tanpa wicara di tengah hutan. Duryudono dengan sewenang – wenang membangunkan tapa brata Pandita Metriyo. Lantas Duryudono menanyakan mengapa Sang Pandita bertapa? Begawan Metriyo menjawab bahwa dia bertapa demi kejayaan dan kemenangan Pandawa jika nanti Baratayuda terjadi. Duryudono marah luar biasa. Begawan Metriyo yang tanpa dosa apa – apa itu dihajar dengan Bindinya Duryudono mati dengan cara mengenaskan. Anehnya, jasad sang begawan moksa meninggalkan suara. Pada saat perang besar nanti dia akan menyatu dengan sentosa dan perkasanya Bima untuk menuntut balas kepada Duryudono. Kakang Prabu…masih banyak hutang Duryudono yang lain…tapi cukup itu saja yang bisa hamba sampaikan saat ini. Sebab jika Kakang masih meradang seperti itu, bisa jadi akan salah terima…”
    Maka sampai di sini lah lakon Sang Kurupati. Perang besar ke empat ini menyelesaikan episodenya, dengan rubuhnya Duryudono. Sesuai dengan sumpahnya ketika terakhir Pandawa mengirimkan utusannya, bahwa kembalinya Astina dan Amarta harus disertai dengan tertigasnya leher Kurupati. Perang ini sudah berakhir, bukan hanya urusan kalah atau menang. Namun perang ini merupakan sarana pemusnah sifat angkara murka dan durjana.  Dengan usainya perang ini yang berhutang sudah mengembalikan, yang menanam sudah menuai, yang menjahit telah mengenakan, yang berjanji telah menepati.


    Artikel Terkait:

    0 Komentar:

     
    Follow This Site Manga Reader Features | Tampilan Full Screen [F11] | Zoom [Arahkan cursor pada gambar] | SlideShow [Klik gambar]