• [Kamis 23/05/2012] Naruto 587
  • [Kamis 23/05/2012] One Piece 668
  • [Kamis 23/05/2012] Bleach 493
  • [Minggu 27/05/2012] Fairy Tail 284
  • 16 Mei 2011

    Kresna mengabarkan kepada Baladewa bahwa barata yuda telah terjadi. Diceritakannya secara ringkas tentang perang besar ini. Tidak cukup waktu untuk mengabarkan lebih lengkap mengenai bencana ini pada Baladewa. Ringkas cerita, begitu ucap Sri Kresna, Kurawa dan sekutu sekutunya telah tumpas tapis ludes keles, tinggal tersisa Kartomarmo dan Aswatama yang melarikan diri ke hutan.
    “Ah….hmmmm….”. Baladewa melenguh. Dosa apa kiranya yang disandang adik adiknya para Kurawa sehingga harus menemui nasib tragis begini. Andai saja dulu Duryudono mendengar apa yang dituturkannya, tidak perlu banjir darah dan air mata ini terjadi. Baladewa sangat dekat dan sayang pada Duryudono, bahkan mungkin mengalahkan sayangnya pada Pandawa. Selain adik ipar, Duryudono juga murid Baladewa dalam hal keaian olah gada. Wajar jika kali ini pertama yg terlintas dalam pikirannya dan ditanyakan kepada Kresna adalah Duryudono. “Adikku Kresna, lalu bagaimana keadaan Duryudono, dia baik2 saja bukan?”
    “Ya Kakang, itu yang membuat kami bertiga mendekati pertapaan Kakang Baladewa. Selain memenuhi amanah Kakang baladewa, kami juga ingin mengabarkan bahwa Dinda Prabu Duryudono s.d saat ini tidak diketahui kemana perginya”
    “Hmm…adi prabu, adi prabu mengapa kegetiran ini harus kamu buat sendiri??”, Baladewa meratapi Duryudono.
    “Werkudoro…”, Baladewa mengalihkan muka ke satria Jodipati itu.
    Seperti gemuruh gunung himawat saat batuk, werkudoro menjawab, “Bule Kakang ku,iya….apa yang akan Kakang titahkan?”
    “Sudah yayi…mari kita cari Kakakmu Duryudono, setelah ketemu nanti kita sudahi saja cerita ini. Relakan keselamatan Duryudono, kita cukupkan sampai di sini saja perang tiada guna ini”
    “Ya…begitu juga yang aku mau”
    Perlahan kereta kuda rombongan lima satria raja itu meninggalkan pertapaan Grojogan Sewu. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan di mana kira kira Duryudono berada. Hati bening dan jiwa wisnu dalam diri Kresna menuntunnya kepada yang dicarinya. Sampailah mereka di tepian danau yg luas. Airnya jernih tenang mendamaikan. Di beberapa tempat pinggiran danau, terlihat ikan ikan wader berseliweran berkejaran. Kelihatannya danau ini tidak terganggu jalma manusia. Beberapa bagian lainnya ditumbuhi teratai berdaun lebar. Di ujung sana pepohonan besar nan rindang menaungi air danau yang tenang. Sesekali burung gelathik, tekukur, dan satwa udara lainya hinggap pergi di rerimbunan ranting daunnya.
    Di antara rerimbunan pohon pohon itu terlihat seekor gajah tanpa tali kekang. Di punggungnya tersandang pakaian kerajaan dan beberapa peralatan perang. Terlihat ada yang ditunggui oleh sang gajah. Kresna menunjuk gajah itu, Baladewa, Werkudara, Nakula, Sadewa mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Kresna. Mereka pun mendekati gajah itu. Tidak salah ini Kyai Pamuk, hewan kesayangan sekaligus tunggangan Raja Agung Hastina Pura, Prabu Duryudono. Lalu ke mana tuannya?
    Kresna berteriak memanggil manggil Duryudono. Tidak ada jawaban, yang terdengar hanyalah gemerisik dedaunan disambar angin kemarau yang sejuk terhembus.
    Kali ini Baladewa yang berteriak memanggil. Terdengar batuk2 seseorang dari balik gerumbul teratai di tengah danau. Duryudono hanya dengan berpakaian celana, menepi menghampiri mereka yang menunggu.
    “Duh kakang prabu Baladewa…Kakang yang saya tunggu”, Baladewa dan Duryudono berangkulan. Tangis tetahan menyesak di dada keduanya. Entah apa yg dipilirkannya. Tetapi yang jelas, Duryudono menyesali pertemuan yang terlambat ini. Ketika negosiasi permintaan pengembalian kerajaan menemui jalan buntu, meskipun Pandawa telah mengirimkan duta perwakilan sebanyak tiga kali, permulaan, pertengahan, dan pamungkas, Duryudono berkali kali mengirim Karto Marmo ke Mandura meminta Baladewa mendampinginya di Kerajaan. Dengan Baladewa di sampingnya, mustahil Kresna di sebrang sana akan memerangi Prajurit Kurawa. Namun apalah arti kehendak dan rencana titah seperti Duryudono dibandingkan garis takdir yang ditarik Tuhan Yang Maha Agung. Baladewa sibuk dengan urusannya sendiri. Dia juga harus menyelamatkan “nasibnya” di hari nanti. Dia tidak ingin bumi menjepit dirinya akibat perbuatannya membelah bumi yg tanpa dosa itu dengan Nenggala andalannya. Maka Baladewa, jangkan memikirkan nasib Kurawa Pandawa di Perang Barata Yuda ini, perhatiannya hanya tertuju bagaimana menyelamatkan hidupnya apapun taruhannya. Termasuk harus berbasah – basah matirta sekian puluh hari.
    Setelah Duryudono mampu menguasai diri, “Kakang Prabu, andika yang saya tunggu – tunggu. Tetapi Kakang, jangan dikira saya ngeri dan sembunyi dari Pandawa. Saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk perang tanding dengan Pandawa”. Masih saja percaya dirinya demikian besar atau kesombongan yang menguasai dirinya. Hanya dia yang tahu. Dia melanjutkan, “….Saya ingin perang tanding saya ini dillihat dan disaksikan oleh Andika Kakang Prabu Baladewa, guru dan sesepuh saya.”
    “Oh Yayi…bukan begitu maksud Kakang mencari adinda bersama saudara – saudaramu ini…Sudahlah prahara ini sampai sini saja. Pandawa sudah merelakan sebagian Hastina untuk Adinda. Cukuplah mereka separo Hastina bagian mana yang adinda relakan dan Amarta yang memang hasil kerja kerasnya mereka sendiri….”, belum selesai Baladewa menyelesaikan kalimatnya Duryudono mencegat.
    “Bagaimana ?? Bagaimana menurut Kakang…? Kakang, perang ini sudah saya niatkan sedari awal. Perang ini harus saya selesaikan bagaimanapun akhirnya…”
    “Duh yayi…bukan maksud Kakang mengecilkan keberanian adinda. ”
    “Yah…saya tahu, tetapi apakah Kakang akan bangga melihat saya enak – enakan padahal sudah sekian ribu sekutu Kurawa mengorbankan nyawanya demi Duryudono, padahal sudah sekian banyak para pepunden, sesepuh dan sanak saudara kehilangan nyawa demi Kurawa. Apakah pantas dan tidak memalukan jika saya tidak mengingat pengorbanan mereka semua? Apakah Kakang tidak akan malu hati melihat kelakuan saya yang tidak tahu diri jika begitu? Lalu di mana pula kebesaran dan keagungan raja Hastina ini ??”
    “Duh yayi….sekuat baja tekadmu, sekokok gunung himawat pendirianmu…Ya sudah lah kalau memang tidak bisa Kakang belokkan kemauanmu. Terserah yayi bagiamana baiknya.”
    “Saya ingin tanding satu lawan satu dengan Pandawa. Tetapi dengan perjanjian…”
    “Perjanjian apa yayi?”
    “Jika saya menang dalam duel satu lawan satu nanti, artinya Pandawa harus mengaku kalah dalam perang ini.. ”
    “Bagaimana Werkudoro ??”, Baladewa menimbang rasa Bimasena…
    “Bagiku terserah saja apa maunya Kakang Duryudono, aku ikut..”
    “Yayi Duryudono, siapa yang dinda pilih untuk menjadi lawan?”, Kresna ingin segera menyudahi adegan tidak berguna ini.
    “Yah….saya minta orang yang gede dan bobot nya seimbang dengan Duryudono. Bukan Kakang Kresna…Kalau saya ukur, Kakang pasti tidak akan menang melawan saya”. Kresna hanya tersenyum kecil.
    “Saya memilih Bima sebagai lawan saya”
    “Bagaimana Wrekudoro??”, Kresna bertanya kepada satria Ngunggul Pamenang itu.
    “Terserah saja….semakin cepat semakin baik…”
    “O begitu…Baiklah yayi Duryudono, sebaiknya adinda berpakaian yang layak dulu. Sadewa….ambilkan pakaian Kakangmu Duryudono, bantulah dia apa yang dibutuhkann…”
    “Baik Kakang Prabu…”.
    (Sudah agak malam di sela – sela analisis data BBM bersubsidi, InsyAllah dilanjutkan kemudian…)

    Baratayuda Jaya Binangun, Salya-Duryudono Gugur[15]:Sudah saatnya Baladewa dibangunkan dari “Matirta” – nya November 10, 2010

    Posted by anikeren in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pikirkan, Yang Aku Senangi, Yang Sayang Dilupakan.
    add a comment
    Pertapaan Grojogan Sewu tempat di mana Baladewa “matirta”, artinya bertapa dengan merendamkan diri pada air. Sudah menjadi watak Baladewa meskipun dirinya adalah Raja Agung dengan jajahan luas dan bawahan tak terkira, namun itu semua tidak membuat dirinya lupa diri. Jiwanya tertempa dengan berbagai macam laku prihatin mengasah diri. Wajar, selain seorang raja dunia juga mengenalnya sebagai guru, bahkan pandita. Maka tidak heran laku matirta inipun dilaksanakannya dengan ringan tanpa keterpaksaan apalagi rasa ngersula. Dia seorang raja yang tahu dan mu mengakui kesalahan. Dan untuk menebus kesalahan yang diperbuatnya itu, dia bersedia melakukan apapun asal kesalahannya itu bisa ditebus.
    Beberapa candra sebelumnya, ketika episode Kresna Gugah. Saat adinda Sri Kresna menyelinap ke Kahyangan Suralaya saat para Dewa menerima titah Yang Maha Tunggal mengenai garis takdir Baratayuda Jayabinangun antara Kurawa – Pandawa. Baladewa termakan rekayasa Sri Kresna saat itu. Ketidakmampuan mengendalikan dirinya akibat hasutan Sangkuni hampir saja mencelakai Bima. Rupanya ini memberikan jalan bagi Sri Kresna untuk menghindarkan dan menyingkirkan Kakaknya terkasih dari cipratan dan tumpahan darah perang besar ini. Gada Nenggala, senjata ajian tanpa tanding di dunia, miliknya menghujam bumi dan mengakibatkan bumi “murka” dan menuntut balas atas perilaku Baladewa yang mencederai bumi itu. Maka untuk menebus murka Bumi itu atasnya, Baladewa bersedia matirta sampai ujung Perang dunia ini. Dengan satu permintaan kepada adiknya, agar kiranya juga suatu hari ini perang ini benar – benar tergelar dirinya ingin dibangunkan dari matirta karena ingin melihat perang ini meski hanya sekedipan mata.
    Sekarang perang ini hampir usai. Para Kurawa sudah tampas ludes menyisakan Karto Marmo yang melarikan diri ke hutan dan Duryudona yang tidak diketahui ada di mana. Perang besar ini memakan begitu banyak kurban bahka mengalahkan sapuan air bah lautan atau guyuran lahar panas kala Mahameru meletus. Tidak hanya korban para prajurit dan satria, hewan tunggangan yang menjadi bangkai dengan darah membanjiri Kurusetra tiada lagi dapat dihitung. Pada sore hari ketika terompet penanda perang hari ini diakhiri, para prajurit dari kedua pihak yang berperang mengurus korban yang gugur dan terluka. Bangkai hewan tunggangan disingkirkan dan dibuang ke sungai yang mengalir tidak jauh dari ladang kurusetra yang berhilir di Grojogan Sewu. Konon karena banyaknya hewan tunggangan perang yang mati dan darah segar yang mengalir darinya, merah darah nya mengubah warna sungai menjadi merah membara. Air sungai yang bercampur dengan darah hewan, dengan bau amisnya membawa bangkai hewan – hewan itu beserta sisa aneka patahan dan kepingan senjata perang ke hilir. Sampai di Grojogan Sewu. Namun berubahnya warna dan bau amis sungai ditingkahi dengan bangkai dan potongan senjata tidak mampu mengusik tapa brata Sang Baladewa. Karena memang pada saat itu jiwanya sedang moksa mengembara menghadap yang punya jiwa.
    Kresna, Bima, Nakula dan Sadewa dengan berkereta dari Kurusetra mendekati tempat Baladewa bertapa. Bagi Kresna telah sampai waktunya untuk membangunkan Kakak nya itu sesesuai janjinya dulu. Tentu saja tidak dengan cara biasa Kresna membangunkan tapa Baladewa. Krena mengheningkan cipta, merapal mantra memohon pertolongan kepada yang punya hidup dan nafas kehidupan. Ditinggalkannya badan wadgnya seolah sedang tidur saja. Disusulnya Baladewa di alam lain yang tidak mungkin dijamah oleh makhluk biasa. Sesaat Bima, Nakula dan Sadewa menunggu apa yang akan terjadi. Sesaat kemudian keduanya, Kresna dan Baladewa, seolah seperti bangun tidur panjang. Greget kehidupan badan wadag Baladewa ditandai dengan batuk kecil teratur yang menjadi ciri khasnya. Kresna terbangun dengan senyuman. Kakak beradik itu berangkulan seolah sekian windu terpisah. ….


    Artikel Terkait:

    0 Komentar:

     
    Follow This Site Manga Reader Features | Tampilan Full Screen [F11] | Zoom [Arahkan cursor pada gambar] | SlideShow [Klik gambar]