• [Kamis 23/05/2012] Naruto 587
  • [Kamis 23/05/2012] One Piece 668
  • [Kamis 23/05/2012] Bleach 493
  • [Minggu 27/05/2012] Fairy Tail 284
  • 16 Mei 2011

    Antara kaget, kecewa, dan biasa – biasa saja saya membaca berita heboh di m.kompas.com sambil menunggu hujan reda setelah terperangkap di Masjid depan UMB lepas Dhuhur tadi. Bung Ruhut S, salah satu petinggi demokrat mewacanakan dan akan memperjuangkan amandemen UUD 45 tentang batasan periode Presiden dari dibatasi dua kali masa jabatan menjadi tiga kali masa jabatan, salah satunya di sini dan banyak tautan lain yang terhubung dengan artikel itu. Dari yang saya baca dengan yakin Bung Ruhut S menyatakan usulannya itu sudah disampaikan ke Pak SBY lima bulan yang lalu, dan respon dari P SBY adalah – menurut Bung Ruhut – P SBY sangat rendah hati dan “kurang menyetujui usulan itu”. Namun Bung Ruhut bergeiming, dengan yakin akan memperjuangkan amandemen itu dengan pertimbangan P SBY sekarang ini tanpa tanding dan masih produktif dalam waktu sepuluh tahun ke depan.
    Ada yang pro dan banyak yang kontra, dan Bung Ruhut bangga dengan itu. Okelah kalau begitu. Saya termasuk orang yang kontra dengan keinginan Bung Ruhut itu. Sekali amandemen diijinkan dan periode dibolehkan dari 2 menjadi 3, berikutnya akan berulang gaya itu dari 3 menjadi 4 dan seterusnya. Dan kejadian ORBA akan berulang lagi, Pak Harto secara de jure bukanlah presiden seumur hidup, namun secara de facto adalah presiden yang tidak bisa diganti (dengan cara normal). Akibatnya, semua sudah kita ketahui. Dulu P Harto juga tidak berkehendak menjadi presiden masa – masa berikutnya, sampai terkenal istilah “Ora dadi presiden ora pathek en”. Namun yang terjadi adalah orang – orang sekitarnya yang menjunjung – junjung dan membisik – bisikkan bahwa Beliau lah sampai dengan saat ini (saat itu) yang layak memimpin negeri dan bangsa ini. Dan akhirnya P Harto pun mengatakan “jika memang rakyat menghendaki, apa boleh buat”. Akibatnya kita tahu sendiri seperti apa akhir dari jabatan kepresidenan beliau.
    Saya teringat kisah Barata Yuda Jaya Binangun, perang besar dalam dunia pewayangan antara dua trah bersaudara itu. Tatkala para pandawa kalah adu judi bermain dadu dengan Kurawa, Pandawa harus menyerahkan Kerajaan Amarta sesinya, bahkan istrinya Drupadi pun menjadi hak milik Kurawa. Pandawa juga dihukum dengan pengasingan ke hutan tanpa bekal tanpa teman selama 12 tahun, dilanjutkan dengan Pandawa harus menyamar di tahun ke tiga belas. Jika sampai dalam penyamarannya Pandawa dapat diidentifikasi apalagi dipergoki oleh Kurawa dan kaki tangannya, maka hukuman pembuangan dan penyamaran harus diulang dalam periode yang sama. Namun jika Pandawa lolos dari hukuman, mereka berhak atas kembalinya Amarta seisinya ditambah Hastina yang sudah menjadi hak mereka.
    Maka ketika Pandawa lolos uji dan masih menumpang di Wiratha, mereka mengirimkan utusan sebanyak tiga kali yang intinya menagih Amarta dan Hastinapura yang cukup separo saja. Tiga utusan itu adalah Kunti ibunda Pandawa, Drupada mertua Pandawa dan Sri Kresna. Kurupati memerlukan masukan dan nasihat orang lingkaran terdekatnya untuk menyikapi niat Pandawa itu. Resi Bisma menyarankan memberikan apa yang diinginkan Pandawa karena memang hak mereka. Amarta adalah hasil jerih payah pandawa, Hastina seluruhnya seharusnya memang hak Pandawa karena mereka penerus Pandu Dewanata. Namun karena kebaikan Pandawa, mereka rela berbagi dengan Kurawa separo – separo. Silakan Kurawa mengambil separo yang mana yang diinginkannya. Resi Druna menyarankan agar Amarta diberikan kepada Pandawa, karena memang mereka yang memiliki. Sementara Hastina dibagi dua dengan kota – kota yang besar dan makmur diambil Kurawa, sisanya Pandawa. Salya bahkan rela turun tahta dan memberikan Mandaraka seutuhnya sejajahannya jika Duryudono rela memberikan hak Pandawa.
    Namun apa yang terjadi ? Semua saran dan nasihat – yang padahal diminta oleh Duryudono – itu sama sekali tidak diacuhkan. Sebab Duryudono termakan hasutan Sangkuni. Sangkuni meyakinkan Duryudono bahwa hanya Hastina dan Amarta kerajaan besar yang cocok dan seimbang dengan wibawa Duryudono, maka tidak ada pimpinan dan penguasa lain yang mampu menguasi Hastina kecuali Kurupati. Hasutan ini termakan oleh Duryudono apalagi saat Karno (senopati paling sakti menurut Duryudono) mendukung niat saran Sangkuni bahwa jika Pandawa memang berniat menguasai kembali Hastina dan Amarta harus mereka rebut dengan cara perang.
    Begitulah akhirnya, hasutan Sangkuni mengalahkan nasihat bijak dan jernih para pinisipuh Astina. Dan perang besar pun tidak bisa dihindarkan. Akhirya kita tahu bahwa Duryudono hancur terkubur oleh ambisinya.
    Saya tidak hendak menyamakan Bung Ruhut dengan Sangkuni. Namun jika keinginan untuk begitu gampanynya mengubah dan mengutak – atik UUD 45 hanya demi ambisi pribadi, rasanya ada yang salah dengannya. Dulu sewaktu P Harto masih berkuasa, rasa – rasanya tidak ada orang yang mampu memimpin negeri ini kecuali beliau. Bahkan waktu itu P SBY meskipun sudah di lingkaran kekuasaan, entah ada di mana. Berani menjamin, waktu itu tidak ada yang percaya sama sekali bahwa P SBY mampu memimpin negeri ini 2 kali periode.
    Apalagi saat ini, jaman semakin terbuka. Pemikiran semakin dibebaskan. Pers tidak lagi terkekang. Rasanya semakin banyak orang yang (paling tidak PD dan berani ) untuk memimpin negeri ini. Jadi tidak perlu pesimis bahwa tidak ada orang yang mampu menandingi P SBY. Wallauh alam bissawab


    Artikel Terkait:

    0 Komentar:

     
    Follow This Site Manga Reader Features | Tampilan Full Screen [F11] | Zoom [Arahkan cursor pada gambar] | SlideShow [Klik gambar]