16 Mei 2011
Bima tahu peran apa yang dilakoni Sangkuni selama ini. Hanya menabur benih kebancian dan menyuburkan rasa permusuhan di Astina, semenjak dia ada di sana. Kalau bukan karena kedengkian sangkuni tidak perlu dia kehilangan guru sekligus leluhur sewasis Bisma, tidak perlu bangkai ketiga senapati Wiratha, Seta, Utara dan Wrahatsangka terjengkang di Kurusetra. Apa pula dosa dan kesalahan kakak tertuanya Karno harus putus lehernya di ujung panah Pasopati Arjuna? Mengapa pula anak tersayang dan istrir trcintanya menjadi tumbal?
Namun kebencian Sangkuni kepada keturunan Pandu bukanlah tanpa sebab. Bibit kedengkian itu telah tertanam pada ladang subur sifat iri Sangkuni jauh sebelum Bima lahir ke alam fana. Saat pertama kali Sangkuni bertemu Pandu, kedengkian itu mulai tumbuh. Semakin subur kebenciannya kepda pandawa setelah pandu mangkat. Kecantikan Kunthi sewaktu gadis telah membuatnya tergila gila. Baginya dunia tiada lain selain Kunthi Nalibrata ketika itu. Ketika tahu bahwa Mandura mengadakan sayembara perebutan Kunthi, dianggapnya itu saat yang tepat untuk mendapatkannya. Namun Sangkuni pengecut. Bukan dadanya sendiri yang dipertaruhkan untuk membayar asmara gilanya pada Kunthi. Dia merengek kepada kakak tertuanya, Gendoro. Bertiga dengan Gendari mereka berangkat dari Plasajenar ke Mandura. Sayang mereka terlambat, sayembara telah usai dengan Pandu sebagai pemenang dan memboyong Kunthi sekaligus Madrim.
Bukan Sengkuni jika menerima begitu saja, meski harus melanggar etika dan “suba sita”. Dipaksanya Gendoro merebut Kunthi dari Pandu. Sekali lagi, dia harus kecewa. Gendoro kalah, sangkuni tiada mampu berbuat apapun selain menyerah. Itulah awal mula kebenciannya bertumbuh pada Pandu dan keturunannya. Gendari pun jadi boyongan Pandu, namun dengan hati berbunga. Sebab gendari berharap dapt dipersunting Pandu. Tetapi takdir berkata lain. Ketika Pandu mempersilakan Kakaknya, Destarata, untuk memilih mana di antara ketiga putri, Gendari, Kunthi, dan Madrim yang dipilih, Destarata memilih Gendari. Saking kecewanya Gendari harus menerima Destarata yang buta, semenjak itu tidak ingin dilihatnya dunia seisinya. Sepanjang sisa hidupnya, matanya ditutup dengan kain hitam. Dan sumpahnya keluar, “anak keturunan Pandu akan sengsara”. Sumpah itu diijinkan Yang Maha Punya Takdir. Kebanciannya yang bertumpuk kepada Pandu menyatu dengan kedengkian Sangkuni.
Sangkuni, bagaimanapun sama sekali tidak mampu melepaskan kegilaannya kepada Kunthi. Bahkan saat Kunthi sudah beranak pinak. Setiap ada kesempatan, Sangkuni selalu berusaha merayu dan menggoda Kunthi. Terlebih setelah Pandu meninggal. Namun Kunthi adalah wanita utama yang paham tata krama.
Sangkuni tidak menyerah. Saat Pandawa kalah dalam judi permainan dadu dengan Kurawa dan harus menyingkir dari Kerajaan, Sangkuni memanfaatkan kesempatan. Berkali2 dirayunya Kunthi dengan cara halus maupun kasar. Sampai suatu saat dia berhasil melepaskan “semeka” Kunthi. Hanya Tuhan Yang Maha Pelindung yang melindungi Kunthi dari perbuatan kurang ajar Sangkuni. Namun Kunthi sudah terlanjur malu. Diapun bersumpah, tidak akan menggunakan “semeka” sebelum menggunakan semeka dari kulit tubuh Sangkuni.
Peristiwa memalukan itu sampai ke telinga Bima beberap bulan yang lalu saat Pandawa selesai dari pengasingan dan menuntaskan penyamaran. Dia berjanji, tangannya sendiri yang akan menguliti Sangkuni.
Sekarang Sangkuni sudah dalam genggamannya. Tanpa membuang waktu lagi, ditenggaknya punggung sangkuni. Kedua kaki sankuni dipegangya kuat kuat. Kaki kiri dinjak di tanah kurusetra, kaki kanan dipegang kedua tangannya. Seperti tukang kayu membelah bambu, disobeknya selangkangan Sangkuni. Kaki kanan sangkuni terlepas dari pinggulnya, darah mengucur deras. Sangkuni tewas.
Dipenuhi janjinya. Sangkuni dikuliti seperti menguliti hewan kurban. Sebagian kulit itu dihaturkannya ke ibunda tercinta. Kunthi dengan demikian, terlepas dari nadarnya.