16 Mei 2011
Kali ini lakon yang diusung adalah Jumenengan Parikesit. Menceritakan kisah naik tahtanya Parikesit menjadi Raja Agung Hastinapura setelah beberapa waktu selesainya perang besar Mahabarata Jayabinangun, dengan kemenangan di pihak Pandawa.
Parikesit mendapatkan kehormatan berupa Kekuasaan dan “Power” bukanlah dia yang menghendaki apalagi dia yang berambisi untuk merebutnya. Proses naik tahtanya Parikesit dimulai jauh sebelum dia dilahirkan di muka bumi. Dalam kisah carangan pewayangan (bukan versi asli Mahabarata Hindia), setahu saya, paling tidak dimulai dari usaha keras dan perjuangan berat Abimanyu ketika masih perjaka (Abimanyu adalah ayah parikesit, bagi yang belum tahu) untuk mendapatkan wahyu JayaNingrat (Cakra Ningrat?) anugerah dari Yang Maha Tunggal lewat para dewa di kayangan. Konon, siapapun yang mendapatkan wahyu ini keturunan yang bersangkutan akan mendapatkan keluhuran dan kejayaan dalam hidupnya. Ketika kabar akan turunnya wahyu ini tersebar, maka para kesatria berusaha dengan segala daya dan kekuatan yang dipunyainya untuk mendapatkan wahyu itu. Tidak terkecuali Lesmana Mandrakumara, anak Kurupati, Samba anak Kresna, dan Abimanyu putra Harjuna. Berbagai rintangan dan godaan harus mereka hadapi baik godaan untuk menguji fisik berupa ketangkasan dan keprigelan olah kanuragan, siksaan batin dengan bertapa berbulan – bulan sampai dengan godaan syahwat berwujud wanita penggoda nan cantik rupawan.
Dari semua kesatria yang terjun berlomba – lomba, baik berhadapan langsung maupun tidak langsung, berusaha sendiri maupun memanfaatkan katabelece dan koneksi dengan orang – orang penting sekitarnya, Abimanyu lah yang lolos uji. Lesmana Mandrakumara sejak dari babak awal sudah gugur terlebih dahulu. Dia terlalu mengandalkan kekuatan dan kekuasaan orang tuanya. Dia sudah terlalu dimanjakan dengan kemudahan dan kesenangan yang mamabukkan sebagai putra raja Hastina. Samba dengan dukungan ayahnya, Sri Kresna yang merupakan titisan wisnu itu, sebenarnya sudah hampir mendapatkan wahyu itu selamanya. Wahyu itu sudah menjiwa denga jiwa raga Samba. Namun saat ujian terakhir, dia gagal. Ketika semua ujian fisik dan mental sudah dilewati, dia gagal menundukkan nafsu syahwatnya. Saat para dewa mengirimkan Bidadari penggoda, Samba gagal menaklukkan nafsu birahinya. Maka gagal pulalah dia mendapatkan wahyu itu. Tidak ada gunanya dia mengadu kepada Bapaknya, Sri Kresna. Sri Kresna hanya bisa mengatakan : keluhuran, kekuasaan, kejayaan adalah amanah yang tidak dapat diserahkan kepada orang – orang seperti samba yang tiada mampu menguasai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin, jika demikian, Samba akan mampu menguasai dan mengendalikan kekuasaan di tangannya nanti ?
Abimanyu melaksanakan segala ujian dengan motivasi untuk menempa dan melatih diri. Tidak ada motivasi untuk mengejar kekuasaan, kejayaan dan keluhuran bagi diri apalagi keturunannya. Baginya kekuraatan dan keteguhannya dalam melalui semua proses dan ujian yang dilewati itu sudah merupakan keluhuran dan kekuasaan baginya. Dia menganggap keluhuran dan kekuasaan atas dirinya akan diperoleh dengan dia mampu melewati semua ujian dan godaan itu dengan hati bening dan tulus. Namun Gusti Yang Maha Menentukan memang maha bijak dan adil. Pada akhirnya putra Arjuna inilah yang mendapatkan wahyu itu.
Dalam perjalanan hidup Abimanyu dan keturunannya, ternyata keberhasilannya mendapatkan wahyu Cakra Ningrat itu bukanlah satu – satunya hal yang menyebabkan keturunan Abimanyu mendapatkan Tuhan Yang Maha Luhur memberikan keluhuran kepada keturuannya. Bertahun tahun kemudian, ketika perang besar Barata Yuda Jawabinangun sampai puncaknya, Duryudono mengirimkan Pandita Durna sebagai senopati perang. Siapa tidak kenal Pandita Durno? Kesaktian dan kepandaiannya dalam olah perang seolah tiada tanding. Saat itu Durno menggunakan formasi perang bunga teratai yang terkenal dasyat dan mustahil dikalahkan. Hanya Arjuna yang mengerti strategi bagaimana menghancurkan formasi ini. Abimanyu pernah pula diajari ilmu ini oleh Arjuna meski belum sempurna. Pandita Durna tahu hal ini. Oleh karena itu Durna mengirim sekutu Kurawa yang lain untuk menyingkirkan Harjuna dari medan pertempuran di Ladang Kuru Setra. Tidak hanya Arjuna, Bimapun disingkirkannya untuk mengaburkan maksudnya menyingkirkan Harjuna agar tidak terbaca oleh Para Pandawa. Arjuna ditantang perang oleh salah satu sekutu itu di pesisir pantai Utara, sedang Bima ditarik keluar ke pesisir pantai selatan. Arjuna dan Bima, karena termakan hasutan dan tantangan lawan untuk duel satu lawan satu, meninggalkan posisi masing – masing yang sudah ditetapkan oleh Senopati Trestadjumena.
Formasi Garuda Melayang Pandawa – yang seharusnya kedua sayapnya dipimpin Harjuna dan Bima- hampir dikalahkan oleh formasi bunga teratai Druna. Pasukan pandawa terdasak dengan korban berjatuhan.
Saat itu Abimanyu memang disingkirkan oleh Kresna agar tidak menjadi incaran Kurawa di Keputrian Wiratha. Abimanyu sedang menunggui kedua istrinya, Siti Sundari dan (…?lupa L). Siti Sundari saat itu sedang hamil tua, mengandung janin jabang bayi yang kelak bernama Parikesit. Namun di perkemahan Pandawa Mandalayuda, Puntadewa sedang panik bukan kepalang akibat terdesaknya pasukan Pandawa. Dia tahu hanya Abimanyu yang tahu strategi untuk memecah formasi bunga teratai Durna. Dikabarkannya hal ini kepada Gatotkaca. Diperintahkannya Gatotkaca pergi ke Keputrian Kerajaan Wiratha untuk menyampaikan hal ini kepada Abimanyu. Demikianlah, kepada Abimanyu Gatotkaca hanya mengatakan ”Adikku Abimanyu, saat ini pasukan Pandawa terdesak hebat dan kehilangan sangat banyak prajurit. Uwak Prabu Puntadewa mengatakan kepada Kakang bahwa hanya adinda Abimanyu yang tahu cara memecah formasi bunga teratai Kurawa. Sudah yayi, hanya itu yang bisa Kakang sampaikan. Kakang mohon pamit”.
Abimanyu seketika itu pula berpamitan kepada kedua istrinya. Meskipun dia tidak diperintahkan dan meskipun dia juga bukanlah senopati yang harusnya bertugas, karena situasi dan kegentingan yang sedimikian kritis ini diputuskannya untuk terjun ke medan laga Kurustra. Dia tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi dan apa yang akan didapatkannya sehingga perlu mempertaruhkan nyawanya ini. Yang dipikirnkannya dalah sebagai kesatria dan prajurit pandawa, dia harus bertindak. Dengan tanpa pamrih apapun diterjangnya pasukan Durna dengan formasi bunga teratai itu. Formai bunga teratai memang berhasil ditembus oleh Abimanyu. Namun Abimanyu terkepung ditengah formasi lawan. Abimanyu benar – benar berlaku sebagai ujung tombak penyerangan yang menyerbu ke tengah formasi bunga teratai. Dengan harapan pasukan dan kesatria pandawa yang lain akan dapat mengikutinya menyerbu ke tengah-2 formasi sebagai titik lemah formasi bunga teratai. Namun apa daya, strateginya terbaca oleh Kurawa. Ketika formasi bunga teratai itu berhasil ditembusnya, Jayadrata dan pasukannya menutup rapat formasi dan menghalangi pasukan pandawa yang lain mengikuti laju Abimanyu. Abimanyu terjebak di tengah kubangan pasukan Kurawa. Puluhan Kurawa dan pasuakan Hastina mengoroyok Abimanyu yang seorang diri, dengan dikomandoi oleh Lesmana Mandra Kumara. Ribuan senjata menghajar tubuhnya hinga roboh. Namun dia tidak menyerah, dia terus melawan dengan ratusan tombak dan keris menancap di tubuhnya hingga menyerupai bulu landak. Dengan luka di sekujur tubuhnya dia terus melawan, menerabas musuh. Bahkan sampai mampu menewaskan Lesmana Mandra Kumara. Konon selama Abimanyu bersatu dengan menggendong busur Kyai Palasara milik mertuanya (Sri Kresna) dia tidak akan mati. Durna yang tahu ini melepaskan anak panah, tidak ke tubuh Harjuna melainkan ke busru Kyai Palasara. Putus seketika bersamaan dengan tewasnya abimanyu yang disambut sorak sorai kemenangan Kurawa. Hari menjelang petang saat itu. Dan perang hari itu dimenangkan oleh Kurawa.
Puntadewa yang merasa bersalah, sedih luar biasa atas tewasnya Abimanyu. Dalam penyesalan yang amat dalam ini dia bersumpah di hadapan seluruh jagad raya bahwa kelak setelah perang ini selesai dan jika Pandawa berhasil keluar sebagai pemenang, tiada lain yang patut naik tahta kerajaan dengan keluhuran dan kejayaan selain keturunan Abimanyu. Sumpah ini didengar seluruh jagad dan direstui Gusti Yang Maha Menentukan.
Demikianlah perjalanan Parikesit hingga naik tahta kerajaan Hastinapura saat itu. Terbersit hikmah bahwa kekuasaan dan kejayaan seharusnya bukanlah jalan untuk kenikmatan dan kepuasaan pribadi yang perlu direbut dengan ambisi. Dan bahwa proses panjang perjuangan yang kita lakoni dalam hal apapun belum tentu akan kita pula yang mendapatkan balasannya secara langsung. Pandawa dan Abimanyu mengajarkan hal ini. Tugas, perjuangan dan apapun yang kita jalankan dengan hati bening dan tanpa ambisi seharusnya sudah merupakan hadiah dan keluhuran jika kita benar dalam menyikapinya. Dalam agamapun, kita diajarkan untuk berjuang berusaha dan berdoa. Perkara hasil, bukan lagi domain kita. Bahkan dalam Islam, niat baik saja – belum lagi sampai kepada pelaksanaan niat baik – sudah diganjar dengan satu pahala. Bukti betapa proses itu sendiri sudah merupakan hadiah.
















